Beberapa hari yang lalu negeri ini telah
menggelar pesta demokrasi yang dilaksanakan secara serentak dari Sabang hingga
Merauke. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) kali ini merupakan peristiwa yang
istemewa yang mengukir wajah demokrasi bangsa ini. Konon yang dihelat hampir
separuh dari jumlah kabupaten/kota. Jelas, itu menelan anggaran yang sangat
luar biasa besarnya. Satu tujuannya
yaitu mencari sosok pemimpin. Tentunya pilkada yang diidam-idamkan oleh rakyat
adalah figur pemimpin sebuah negeri yang mampu mengayomi dan mensejahterahkan
rakyatnya menjadi kenyataan. Sudah barang tentu kalo seseorang mencalonkan
dirinya sebagai pemimpin, pasti harus merakyat. Karena pemimpin hakikatnya
adalah pelayan rakyat bukan dilayani rakyat.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap pelaksanaan
pilkada sang calon pemimpin ingin dikenal oleh publik. Nah, agar lebih dekat
dan lebih dikenal oleh rakyat, calon kepala daerah (kada) melakukan blusukan ke kampung-kampung. Tebar
senyum, tebar canda, tebar janji dan tidak ketinggalan tebar ‘salam tempel’.
Itu sudah menjadi tren di era otonomi daerah.
Semakin kencang upaya tersebut, maka peluang besar dia akan menuai
sukses. Yang penting saya bisa menjadi gubernur, bupati atau walikota. Di
mana-mana ketika berkampanye selalu memberikan banyak harapan, impian,
iming-iming dan segudang janji lainnya. Namun, apa yang terjadi ketika dia
sudah duduk di singgasana. ‘Janji tinggallah janji’ kalimat itu yang populer
kita dengar.
Sejarah mencatat bahwa, sejak roda otonomi
daerah digelindingkan hingga sekarang ini masih sangat sedikit figur pemimpin
yang benar-benar amanah sesuai tuntunan dalam Islam. Tidak sedikit pemimpin
yang kental dengan dunia pesantren, paham hukum-hukum Islam tapi malah melepaskan
tuntunan yang disyari’atkan, hanya karena hubbud
dunya semata. Namun hanya sedikit sekali pemimin di negeri ini yang amanah
dan mampu membawa negeri makin makmur dan damai. Sesungguhnya, kalo sang
pemimpin itu mau berpijak kepada Jejak Rasulullah SAW., niscaya sang pemimpin
tersebut akan disenangi rakyatnya karena mampu menjadi suri teladan bagi yang
dipimpinnya.
Sebagaimana telah ditegaskan dalam Sabda
Rasulullah SAW. “Setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang
dipimpinnya." (HR. Bukhari). Hakikat pemimpin adalah wujud tanggung jawab untuk
mensejahterakan rakyatnya. Oleh
karenanya seorang kepala daerah yang terpilih seyogyanya harus mampu meningkatkan
derajat kesejahteraan masyarakat antara lain dengan menumbuhkan perekonomian masyarakat, menyediakan perluasan lapangan kerja, menaikkan upah minumum regional (UMR) yang
sesuai dengan kondisi saat ini dan upaya lainnya. Pemimpin dalam konteks Indoensia,
adalah sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat
ini adalah Presiden, Menteri, DPR, MPR Gubernur, Bupati, Walikota, kepala desa, dan semua birokrasi yang
mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan
(tentunya melalui pemilu/pilkada yang sedang berlangsung di sejumah daerah)
untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat.
Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya
sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka
dari jabatannya.
Selanjutnya, pemimpin harus
bersikap adil bagi yang dipimpinnya. Untuk melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah
berlaku adil terhadap rakyatnya adalah melalui keputusan-keputuasan dan
kebijakan yang dikeluarkannya. Bila seorang pemimpin menerapkan hukum secara
sama dan setara kepada semua warganya yang berbuat salah atau melanggar hukum,
tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun
sebaliknya, bila pemimpin itu hanya menghukum sebagian orang (rakyat kecil)
tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat), padahal mereka sama-ama
melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim dan jauh dari perilaku
yang adil. Yang lagi ngetren adalah ada kelapa daerah yang menawarkan sebuah
jabatan kepada aparat pemda dan memang harus ditebus dengan sejumlah uang tanpa harus melihat kompentensi maupun syarat
kecakapan yang dimiliki oleh PNS tadi. Tentu saja berhasil, karena sama-sama sepakat
dan saling membutuhkan. Sedangkan aparat pemda yang sudah memenuhi kompetensi
hanyalah tinggal di landasan, karena hanya menjaga syariat Alloh SWT.
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya manusia yang
paling dicintai allah pada hari kiamat dan yang paling dekat kedudukannya di
sisi allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling
dibenci allah dan sangat jauh dari allah adalah seorang pemimpin yang zalim.” (HR.
Turmudzi). Makna yang harus kita pahami dan aplikasikan dalam kehidupan
adalah menekankan bahwa kriteria adil
sangat penting bagi seorang pemimpin. Tanpa nilai-nilai keadilan yang dijunjung
tinggi oleh seorang pemimpin, maka sebuah kepemimpinan tidak akan berhasil
mengangkat kesejahteraan umatnya. Karena itu, bisa kita fahami mengapa rasul
berkali-kali menekankan akan pentingnya seorang pemimpin yang adil. Dalam hadis
ini, seorang pemimpin yang adil akan ditempatkan sangat dekat sekali
kedudukannya dengan Alloh SWT, sedangkan pemimpin yang dzalim adalah sangat
dibenci sekali oleh Alloh SWT. Kedua balasan (imbalan dan ancaman) ini tentunya
mencerminkan sebuah penghargaan Allah SWT. yang begitu besar kepada pemimpin
yang mampu berbuat adil kepada rakyatnya, termasuk para
bawahannya kepala daerah.
Coba kita lihat kepala daerah secara langsung
menawarkan sebuah jabatan kepada aparat pemda dan memang harus ditebus dengan
sejumlah uang tanpa harus melihat
kompentensi maupun syarat kecakapan yang dimiliki oleh PNS tadi. Tentu saja
berhasil, karena sama-sama sepakat dan saling membutuhkan. Sedangkan aparat
pemda yang sudah memenuhi kompetensi hanyalah tinggal di landasan, karena hanya
menjaga syariat Alloh SWT. Pepatah para pemimpin masa kini adalah Laisa fulus manfusy. Begitulah wajah
para pemimpin di negeri ini.
Sementara Rasulullah SAW mengajak para
pemimpin/kholifah negeri ini tidak mengejar kedudukan dunia semata tapi mampu
bersikap amanah, arif dan bijaksana. Sebagaimana Rasulullah menyerukan dalam
hadist berikut yang artinya : Abu said (abdurrahman) bin samurah r.a. Berkata:
rasulullah saw telah bersabda kepada saya : Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan
menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa
minta, kau akan dibantu oleh allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat
jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau
kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian
ternyata jika kau lakukan lainnya akan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan
kerjakan apa yang lebih baik itu. (HR.
Muttafaqqun alaih).
Implementasi dari hadist di atas sebenarnya
mengajarkan kepada kita tentang etika politik. Seorang politisi tidak
serta-merta bebas dari etika, sebagaimana ditunjukkan oleh para politisi kita
selama ini. Melainkan seorang politisi dan kehidupan politik itu sendiri harus
berdasarkan sebuah kode etik. Bila kehidupan politik tidak berasarkan etika,
maka kesan yang muncul kemudian bahwa politik itu kotor. Padahal, tidak
selamanya politik itu kotor, Rasulullah SAW, sendiri pernah menjadi seorang
politisi, tapi tidak pernah bermain kotor.
Bila kita mencermati hadis di atas, maka akan kita
temukan bahwa citra “kekotoran” dari politik itu sebenarnya bersumber dari
sikap para pelakuknya yang ambisius. Dalam hal ini, ambisi menjadi salah satu
faktor uatama dalam membentuk sikap dan pandangan politik eseorang sehingga
menjadi kotor. Betapa tidak, dari ambisi itu, seseorang bisa saja membunuh
orang lain yang menjadi pesaing politiknya. Dan dari ambisi itu pula seseorang
bisa melakukan apa aja untuk meraih jabatan politik yang diinginkannya, baik melalui
korupsi, penipuan, pembunuhan, ke dukun, dsb. Oleh sebab itu, “menjaga ambsi”
adalah sebuah etika politik yang diajarkan Islam kepada umatnya, terutama bagi
mereka yang berkiprah di dunia politik.
Pilkada bukan
sebagai ‘mesin uang’ bagi si politisi publik. Namun realita yang terjadi
di negeri ini? Tidak sedikit para kepala daerah, menteri dan legislator yang
menikmati hidup di hotel sempit. Hampir separuh jumlah kepala daerah di negara
kita merasakan sisa hidupnya di balik jeruji. Sebenarnya apa penyebabnya ?
Salah satunya adalah perilaku money
politics yang menjadi pemicunya. Itulah yang menjadi tradisi di era pilkada
langsung diluncurkan. Marilah kita telaah sifat Amanah yang dimiliki Rasulullah
SAW yang penuh dengan arif dan bijaksana, ramah, penyabar, pemaaf, penuh kasih
sayang pada ummatna, dermawan, yang semuanya itu melekat pada diri Rasulullah
SAW yang dikenal dengan Uswatun khasanah.
Menjadi pemimpin bak seorang orang
tua bagi anaknya. Si anak harus mendapat perlindungan dan pemenuhan
kesejahteraan hidupnya.
Oleh karena itu kita berharap semoga dalam pilkada
kali ini akan terlahir para pemimpin yang benar-benar amanah. Pemimpin yang
peduli terhadap rakyatnya. Seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW :
“Tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah
yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati
janjinya.” (HR. Ahmad bin Hambal).
Kita maknai bersama dalam kehidupan sehari-hari seperti slogan-slgan keagamaan
semisal : kebersihan adalah bagian dari iman, malu adalah bagian dari iman,
dsb. Tapi kita jarang –atau mungkin tidak pernah mengatakan bahwa menjaga amanat adalah bagian
dari iman. Padahal, rasul juga pernah bersabda bahwa menjaga amanat adalah
bagian dari dasar-dasar
keimanan dan keagamaan. Dan barang siapa yang tidak
menjaga amanat maka rasul menyebut dia tidak sempurna iman dan agamanya.
Andai kita mengkampanyekan hadis ini ke masyarakat
luas, apalagi di saat-saat kampanye presiden, bupati, gubernur, dsb, maka kita
setidaknya telah menekan munculnya “potensi” penyelewengan amanat oleh pemimpin
kita, meskipun itu sekecil semut. Hal itu karena dalam tradisi kepemimpinan kita,
upaya menjaga amanat itu sangat kecil. Sumpah jabatan sebagai mekanisme
penyerahan amanat ternyata tidak disertai sebuah mekanisme kontrol yang ketat
terhadap amanat itu. Oleh sebab itu, kampanye keagamaan untuk mendorong
seseorang (pemimpin) agar senantiasa menjaga amanat (kepemimpinanya) adalah
penting segera kita galakkan. Penulis berharap dengan pilkada serentak ini
semoga perilaku-perilaku yang tidak terpuji dapat berkurang dan bahkan bisa
sirna di negeri tercinta ini.
Harapan
rakyat adalah munculnya seorang pemimpin yang amanah. Terakhir di tulisan ini
adalah semoga para pemimpin negeri ini mampu mengikuti jejak Rasulullah SAW
yang memiliki akhlaqul karimah sehingga rakyat
manjadi sejahtera, tercipta kedamaian dan kenyamanan, pembangunan berjalan kondusif,
pemerintahan menjadi lebih baik dan bersih dan menjadi suri tauladan yang baik.
Semoga Alloh SWT memberikan pemimpin yang amanah seperti yang kita harapkan
untuk mewujudkan baldatun thoyyibatun wa
rafun ghofur. Wallohu a’lam bish showab.
Penulis :
ATIM
SWASONO, SP, M.Sos
Pemerhati
Sosial di Kabupaten Nganjuk